Aku teringat akan masa dimana pertama kalinya aku mengendarai motor di jalan raya. Pada awalnya semua berjalan baik-baik saja hingga suatu hari ketika ada operasi di jalan raya aku bingung harus berbuat apa karena waktu itu adalah waktu dimana aku berangkat ke sekolah. Aku ingat kalau aku belum mempunyai SIM. Aku pun memberhentikan motorku dan berusaha serileks mungkin agar tidak terlihat mencurigakan di depan mereka yang berseragam hijau. Aku benar-benar nervous kala itu karena aku akui kalau aku memang salah. Aku tahu kalau sebagai warga Negara yang baik aku harus mematuhi setiap peraturan atau norma hukum yang ada. Sebagai contoh, seorang pengendara yang baik itu selain mematuhi peraturan lalu lintas yang ada, harusnya juga memenuhi syarat dan perlengkapan berkendara. Salah satunya adalah dengan memiliki SIM. Untungnya ketika giliranku tiba, polisi tadi bertanya dengan suara lantang dan keras, “Punya SIM?”. Aku pun langsung menjawab, “Punya, pak”.
Waktu
itu aku hanya menyodorkan STNK saja dan beliau kembali bertanya, “SIM nya ada?”.
“Ada pak”, jawabku dengan tegas. Aku pun menggerakkan tanganku untuk kembali
membuka tas. Ketika aku tengah asyik membuka tas tanpa tahu apa yang sedang
kucari tiba-tiba pak polisi tadi mempersilahkan aku untuk maju dengan
menyerahkan kembali STNK kepadaku. Alisku sempat bertemu dan berkata dalam
hati. Apa benar ini sudah tidak apa-apa? Apa benar
sudah boleh lanjut?, Batinku. Aku pun kembali memasukkan STNK ku ke dalam dompet
dan tas setelah memajukan motorku. Dengan kaki yang masih gemetaran aku
memperhatikan sekelilingku dan benar itu adalah tempat dimana pengendara yang
sudah diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Mereka yang berseragam hijau
benar-benar sudah berada dibelakangku. aku tak percaya kala itu bahwa aku
benar-benar telah melewati mereka!
Setelah STNK berada dalam tas, aku bersiap melanjutkan
perjalanan ke sekolah. Dengan memburu waktu, motorku pun melaju. Tak disangka
selama perjalanan, aku masih tak percaya dengan diriku. Bayangkan, aku telah
melakukan kesalahan sepagi ini! Aku merasa bersalah telah melakukan itu kepada
mereka dengan berbohong kepada mereka dan diriku sendiri. Sungguh aku tidak akan
mudah memaafkan diriku sendiri setelah kejadian itu. Ketika berada di tikungan,
pikiranku yang sudah tidak fokus itu membuat motorku oleng. Awalnya aku hanya
ingin membalap mobil di depanku untuk mengejar waktu dan ternyata timingnya
kurang tepat. Entahlah, apa yang sedang kupikirkan saat itu. Aku sudah tak bisa
berpikir jernih. Untung aku tak jadi menabrak mobil di depan. Tapi naasnya, aku
mengerem mendadak dan oleng. Aku bersyukur tak ada luka yang berarti di tubuhku.
Hanya ujung ruas jari-jari tangan saja yang tergesek aspal dan warna rok yang
berubah abu-abu karena kainnya sedikit terkikis oleh aspal. Itu saja. Akan tetapi
kaca kiri spionku tak bisa berdiri tegak. Sudah aku putar-putar tapi hasilnya
nihil. Ia tak bisa kembali seperti sedia kala. Mobil putih didepanku pun
berhenti. Lalu muncullah seorang pemuda yang bertanya tentang kondisiku.
“Gak
papa dek?”
“Iya,
gak papa kok.”
“Sudah
tahu ada mobil yang mau belok, masih mau maju saja. Bener gak papa kan?”
“Iya.
Maaf. Habisnya ini lagi buru-buru. Tapi gak papa kok, terima kasih”.
Setelah
itu. beliau berlalu dan meninggalkanku sendiri. Aku beruntung jalan tidak
seramai biasanya. Jadi tidak sebegitu menanggung malu yang berarti. Aku pun
berpikir kalau ini pasti karma yang terjadi padaku. Suatu karma yang aku
lakukan di pagi itu dibalas langsung dengan kejadian tak terduga ini.
“Ya allah aku tahu aku salah. Besok
aku takkan mengulangi hal seperti ini lagi”, batinku
kemudian.
Akhir cerita, aku pun bertekad kuat untuk segera mencari dan mendapatkan SIM. Setelah aku berusaha keras untuk menjadi warga
Negara yang baik. SIM pun aku dapatkan. Sudah lama aku menunggu hari bahagia
itu. Setiap aku pulang dan pergi dulu, aku selalu waspada akan adanya operasi.
Entah itu hanya ketakutan karena aku tak punya SIM atau pernah hampir saja
menabrak mobil di tikungan waktu itu aku tak tahu. Yang pasti, aku tak ingin
melakukan kesalahan dengan berbohong kepada mereka yang berseragam hijau atau
orang biasa menyebutnya Potlantas. Aku tahu mereka tak terlihat menakutkan. Mereka
hanya menjalankan tugas yang ada. Tapi perasaan ketika melihat mereka seakan
membawa pengaruh besar di pikiranku. Disiplin. Mungkin itu kata yang pantas aku
ucapkan saat ini. Berbicara tentang disiplin itu sendiri mengingatkanku akan
beberapa guru killer yang begitulah
teman-temanku menyebutnya. Bagiku, guru killer
itu tak terlihat mengerikan seperti yang temanku katakan. Wajah mereka terlihat
sama seperti manusia tentunya. Bukan seperti monster yang sedang bertarung
melawan para superhero di beberapa film marvel. Nah, itu baru tak biasa dan
mengerikan. Hanya saja mungkin para guru killer
itu sangat disiplin sekali ketika mengajar. Wibawa dan pembawaan sikap
disiplin mereka itulah yang mungkin menurutku itu menakutkan. Dan sikap displin
itu mungkin sama seperti mereka yang mengenakan seragam hijau di jalan. Mereka
dengan tegap dan tak kenal lelah mengatur jalan yang ada. Kemacetan dan bunyi
klakson yang merongrong di pagi buta itu mestilah banyak berkurang karenanya.
Yah, walaupun sedikit. Tapi yang penting mereka sudah mengerjakan tugas mereka.
Jadi teman-teman, bagi kalian yang takut pada Polisi.
Entah itu Polisi lalu lintas atau polisi berseragam cokelat. Janganlah takut
pada mereka. Mereka hanya menjalankan tugas yang sudah semestinya mereka
lakukan. Pada intinya, kalau kalian sudah mematuhi peraturan berlalu lintas
dengan baik, percayalah dengan diri kalian. Kalau kalian sudah benar dan sudah
menjadi warga Negara yang baik. So, apa
lagi yang ditakutkan!
0 komentar:
Posting Komentar