Aku
mempunyai bayangan yang hidup. Dia adalah kakakku. Dia pintar dan pandai dalam
segala hal, menurutku. Kami bersaudara ‘kembar’. Hidup kami seakan tak
terpisahkan sejak kecil. Bayangkan! sejak kami TK hingga menempuh pendidikan
sekolah menengah atas, kami selalu berada di sekolah yang sama. Semua orang
tahu bahwa dia adalah kakakku. Bahkan karyawan sekolah seperti tukang kebun,
petugas kebersihan dan pak satpam mengenal dia. Karena kami berada di sekolah
yang sama, kami selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Sejak SD misalnya,
ketika dia berada di peringkat tiga sebagai murid terbaik dari the best ten
seangkatanku, aku berada di tingkat lima. Ada seseorang pastinya yang menjadi
penghalang diantara kami yaitu seorang teman yang berada di peringkat empat.
Ketika kami mengikuti tes ujian masuk Madrasah Tsanawiyah atau SMP, dia masuk
dan berada di peringkat tiga terbaik dan aku di urutan kelima. Lagi-lagi ada
penghalang diantara kami. Untungnya, kami selalu berada di kelas yang berbeda.
Menurutku, aku tak bisa bayangkan kalau aku dan kakakku berada dalam kelas yang
sama.
Ketika
aku dikelas, tak sedikit dari teman-teman dan para guru yang membandingkanku
dengannya. Pada awalnya tidak ada masalah yang berarti buatku. Tapi
bertahun-tahun telah kulalui dan mereka masih melakukan sikap yang sama. Aku
pun merasa sedikit frustasi. Salah satu teman berkata padaku ketika ada lomba imathoh atau biasa dikenal dengan cerdas
cermat, mereka memintaku untuk menjadi perwakilan kelas. Dia berkata, “Ayolah,
kamu ikut ya. Kamu pasti bisa seperti kakakmu itu. Demi kelas kita bersama
juga”. Pada awalnya aku tidak mau, bukan karena tidak bisa tapi aku memang
tidak sedang ada minat untuk ikut hari itu. Selain itu, rasanya aku mulai lelah
akan perlakuan mereka buatku. Lagi-lagi mereka membanding-bandingkanku
dengannya. Aku sudah bosan. Apa tidak ada yang lain?. Batinku. Saat itu setiap
kelas harus ada perwakilan tiga anak sebagai tim peserta. Inginku menolak, tapi
mereka beralasan kalau itu demi kelas, kalau begitu aku akan berusaha
semampuku. Tak bisa dipungkiri, seperti yang sudah diharapkan dan diprediksi
kakakku atau bayangan hidupku itu ikut juga ikut untuk mewakili kelasnya.
Dengan persiapan yang matang, aku dan kedua temanku telah mempersiapkan diri
untuk bertanding. Hasilnya? Tentulah kelas kakakku yang mengalahkan kami. Aku
dan teman-teman tidak bersedih karena kami sudah mengerahkan kemampuan yang
kami punya sebaik mungkin. Bagiku tidak ada kata menyerah.
Di
luar kegiatan sekolah dan kawan-kawan, aku biasanya selalu berada tak jauh
darinya hingga ketika aku dirundung banyak masalah, aku selalu meminta pendapat
dan solusi darinya. Entahlah, seakan tak ada tempat lain yang kutuju atau
mungkin karena aku benar-benar mengandalkannya. Pernah suatu ketika aku tak
paham akan suatu materi pelajaran, aku langsung mencarinya dan memintanya untuk
mengajariku. Awalnya dia tidak mau karena memang dia juga sedang mengerjakan
tugas, tapi pada akhirnya dia melakakukannya dengan alasan bahwa ia sedikit
mengerti akan materi yang kutanyakan. Yah, seakan aku tak bisa hidup jauh
darinya. Di sisi lain sebagai seorang adik yang baik, aku menghormatinya. Tapi
terkadang juga perbedaan pendapat akan suatu hal yang kecil saja dapat membuat
kami bertengkar satu sama lain. Tak jarang juga kami mempunyai cara pandang
yang bervariasi dan hal itu membuatku belajar tentang memahami berbagai masalah
yang ada melalui sudut padang yang berbeda. Menarik. Karena hasil akhir yang
didapat juga tak sama.
Kami
berdua selain bersaing satu sama lain juga kompak dalam melakukan beberapa hal hingga
aku pun lulus Mts atau SMP. Lagi-lagi orang tua kami menyuruhku untuk kembali
melanjutkan sekolah di sekolah yang sama dengan kakaku. Di sekolah menengah ke
atas itu, ada kejadian yang lucu. Teman-teman memintaku untuk mencoba masuk
dikelas kakakku dan kakakku dikelasku. Ceritanya, beberapa temanku pernah
membaca cerpen tentang anak kembar yang sering bergantian kelas ketika salah
satu diantara mereka tidak suka pada suatu mata pelajaran. Teman-teman dan guru
keduanya tak ada yang tahu karena mereka kembar identik. Sedangkan aku dan
kakakku mirip tapi tak sama dalam artian kami tak kembar identik, menurutku.
Aku pun setuju untuk mencobanya sekaligus mengetes apakah guru kami menyadarinya
atau tidak. Yah, hanya sekedar iseng memang. Setelah aku tahu kalau guru yang
mengajar di kelas sebelah bukan guru kiler,
aku pun masuk. Pelajaran berjalan seperti biasa. Bu Mega, guru ekonomi tak
menyadari keberadaanku yang tak biasa. hingga tiba waktu untuknya mengabsen
kehadiran kami, aku kikuk. Aku takut kalau perbuatan iseng ini ketahuan. Hingga
giliranku pun tiba.
“Lutfi?”,
Tanya Bu Mega.
“Hadir,
bu” sahutku. Pada awalnya beliau sempat menatapku agak lama. Hatiku dag dig dug
tak karuan. Sempat saja aku berpikir kalau aku ketahuan nanti aku akan mengakui
diriku yang sebenarnya. Aku pun segera menunduk setelah beliau memanggilku. Aku
menutupi wajahku dengan buku seolah-olah aku sedang membacanya. Dan akhirnya,
beliau kembali memanggil nama yang lain. Aku tidak ketahuan! Huft, aku
menghembuskan napas lega dan melihat teman-temanku yang lain pada tertawa
cekikikan di tempat masing-masing. Huh,
awas kalian semua. Untung, tidak jadi ketahuan. Kalau pun ketahuan aku akan
mengakui semuanya dan kalian juga harus kena hukum. Batinku. Kedaan
dikelasku yang asli juga ternyata aman. Hal yang menegangkan dan bahaya juga
jika mereka mengetahuinya. Aku dan kakakku pun sepakat untuk tidak melakukannya
di kemudian hari. Tapi kami berdua menikmati kesempatan itu.
Akhir cerita, aku menyadari bahwa belum
pernah satu pun aku mengunggulinya. Yah, hanya satu kejadian saja yang masih
kuingat yaitu tentang skor kimiaku yang tertinggi dikelas. Bukan hal yang
ajaib. Karena pada dasarnya aku menyukai kimia, bukan karena gurunya rupawan
tapi cara mengajarnya yang begitu singkat, padat dan jelas sehingga aku dapat
mengerti dengan mudah. Hal sekecil itu sangat berarti bagi kita, dan mungkin
orang lain pasti memiliki pendapat yang berbeda. Ia berkata bahwa ia saja masih
harus berusaha keras karena ternyata ia mendapat nilai yang pas.
Entahlah,
aku hampir lupa mengingat hal apa saja yang pernah aku kalahkan. Hingga suatu
hari ketika aku mendaftar beasiswa bidik misi untuk melanjutkan kuliah ke
perguruan tinggi. Aku pernah membayangkan, Bagaimana
rasanya kami kuliah di perguruan yang tinggi yang berbeda? Apa aku bisa hidup
tanpa merepotkannya?. Tak disangka, aku satu-satunya yang menjadi harapan karena
kakakku gagal masuk dan mendapatkan beasiswa itu, Aku masuk dan diterima lewat
jalur undangan dan beasiswa bidik misi sedangkan dia pun masuk melalui jalur
prestasi di perguruan tinggi islam di surabaya. Akhirnya, aku bisa berdiri
sendiri dengan kemampuanku. Aku menantang diriku hingga akhir bahwa aku pasti
bisa hidup mandiri untuk mengatasi masalahku tanpa harus merepoti bayanganku
terus.
0 komentar:
Posting Komentar