AKU DAN BAYANGANKU (Cerpen)



Aku mempunyai bayangan yang hidup. Dia adalah kakakku. Dia pintar dan pandai dalam segala hal, menurutku. Kami bersaudara ‘kembar’. Hidup kami seakan tak terpisahkan sejak kecil. Bayangkan! sejak kami TK hingga menempuh pendidikan sekolah menengah atas, kami selalu berada di sekolah yang sama. Semua orang tahu bahwa dia adalah kakakku. Bahkan karyawan sekolah seperti tukang kebun, petugas kebersihan dan pak satpam mengenal dia. Karena kami berada di sekolah yang sama, kami selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Sejak SD misalnya, ketika dia berada di peringkat tiga sebagai murid terbaik dari the best ten seangkatanku, aku berada di tingkat lima. Ada seseorang pastinya yang menjadi penghalang diantara kami yaitu seorang teman yang berada di peringkat empat. Ketika kami mengikuti tes ujian masuk Madrasah Tsanawiyah atau SMP, dia masuk dan berada di peringkat tiga terbaik dan aku di urutan kelima. Lagi-lagi ada penghalang diantara kami. Untungnya, kami selalu berada di kelas yang berbeda. Menurutku, aku tak bisa bayangkan kalau aku dan kakakku berada dalam kelas yang sama.
Ketika aku dikelas, tak sedikit dari teman-teman dan para guru yang membandingkanku dengannya. Pada awalnya tidak ada masalah yang berarti buatku. Tapi bertahun-tahun telah kulalui dan mereka masih melakukan sikap yang sama. Aku pun merasa sedikit frustasi. Salah satu teman berkata padaku ketika ada lomba imathoh atau biasa dikenal dengan cerdas cermat, mereka memintaku untuk menjadi perwakilan kelas. Dia berkata, “Ayolah, kamu ikut ya. Kamu pasti bisa seperti kakakmu itu. Demi kelas kita bersama juga”. Pada awalnya aku tidak mau, bukan karena tidak bisa tapi aku memang tidak sedang ada minat untuk ikut hari itu. Selain itu, rasanya aku mulai lelah akan perlakuan mereka buatku. Lagi-lagi mereka membanding-bandingkanku dengannya. Aku sudah bosan. Apa tidak ada yang lain?. Batinku. Saat itu setiap kelas harus ada perwakilan tiga anak sebagai tim peserta. Inginku menolak, tapi mereka beralasan kalau itu demi kelas, kalau begitu aku akan berusaha semampuku. Tak bisa dipungkiri, seperti yang sudah diharapkan dan diprediksi kakakku atau bayangan hidupku itu ikut juga ikut untuk mewakili kelasnya. Dengan persiapan yang matang, aku dan kedua temanku telah mempersiapkan diri untuk bertanding. Hasilnya? Tentulah kelas kakakku yang mengalahkan kami. Aku dan teman-teman tidak bersedih karena kami sudah mengerahkan kemampuan yang kami punya sebaik mungkin. Bagiku tidak ada kata menyerah.
Di luar kegiatan sekolah dan kawan-kawan, aku biasanya selalu berada tak jauh darinya hingga ketika aku dirundung banyak masalah, aku selalu meminta pendapat dan solusi darinya. Entahlah, seakan tak ada tempat lain yang kutuju atau mungkin karena aku benar-benar mengandalkannya. Pernah suatu ketika aku tak paham akan suatu materi pelajaran, aku langsung mencarinya dan memintanya untuk mengajariku. Awalnya dia tidak mau karena memang dia juga sedang mengerjakan tugas, tapi pada akhirnya dia melakakukannya dengan alasan bahwa ia sedikit mengerti akan materi yang kutanyakan. Yah, seakan aku tak bisa hidup jauh darinya. Di sisi lain sebagai seorang adik yang baik, aku menghormatinya. Tapi terkadang juga perbedaan pendapat akan suatu hal yang kecil saja dapat membuat kami bertengkar satu sama lain. Tak jarang juga kami mempunyai cara pandang yang bervariasi dan hal itu membuatku belajar tentang memahami berbagai masalah yang ada melalui sudut padang yang berbeda. Menarik. Karena hasil akhir yang didapat juga tak sama.
Kami berdua selain bersaing satu sama lain juga kompak dalam melakukan beberapa hal hingga aku pun lulus Mts atau SMP. Lagi-lagi orang tua kami menyuruhku untuk kembali melanjutkan sekolah di sekolah yang sama dengan kakaku. Di sekolah menengah ke atas itu, ada kejadian yang lucu. Teman-teman memintaku untuk mencoba masuk dikelas kakakku dan kakakku dikelasku. Ceritanya, beberapa temanku pernah membaca cerpen tentang anak kembar yang sering bergantian kelas ketika salah satu diantara mereka tidak suka pada suatu mata pelajaran. Teman-teman dan guru keduanya tak ada yang tahu karena mereka kembar identik. Sedangkan aku dan kakakku mirip tapi tak sama dalam artian kami tak kembar identik, menurutku. Aku pun setuju untuk mencobanya sekaligus mengetes apakah guru kami menyadarinya atau tidak. Yah, hanya sekedar iseng memang. Setelah aku tahu kalau guru yang mengajar di kelas sebelah bukan guru kiler, aku pun masuk. Pelajaran berjalan seperti biasa. Bu Mega, guru ekonomi tak menyadari keberadaanku yang tak biasa. hingga tiba waktu untuknya mengabsen kehadiran kami, aku kikuk. Aku takut kalau perbuatan iseng ini ketahuan. Hingga giliranku pun tiba.
“Lutfi?”, Tanya Bu Mega.
“Hadir, bu” sahutku. Pada awalnya beliau sempat menatapku agak lama. Hatiku dag dig dug tak karuan. Sempat saja aku berpikir kalau aku ketahuan nanti aku akan mengakui diriku yang sebenarnya. Aku pun segera menunduk setelah beliau memanggilku. Aku menutupi wajahku dengan buku seolah-olah aku sedang membacanya. Dan akhirnya, beliau kembali memanggil nama yang lain. Aku tidak ketahuan! Huft, aku menghembuskan napas lega dan melihat teman-temanku yang lain pada tertawa cekikikan di tempat masing-masing. Huh, awas kalian semua. Untung, tidak jadi ketahuan. Kalau pun ketahuan aku akan mengakui semuanya dan kalian juga harus kena hukum. Batinku. Kedaan dikelasku yang asli juga ternyata aman. Hal yang menegangkan dan bahaya juga jika mereka mengetahuinya. Aku dan kakakku pun sepakat untuk tidak melakukannya di kemudian hari. Tapi kami berdua menikmati kesempatan itu.
   Akhir cerita, aku menyadari bahwa belum pernah satu pun aku mengunggulinya. Yah, hanya satu kejadian saja yang masih kuingat yaitu tentang skor kimiaku yang tertinggi dikelas. Bukan hal yang ajaib. Karena pada dasarnya aku menyukai kimia, bukan karena gurunya rupawan tapi cara mengajarnya yang begitu singkat, padat dan jelas sehingga aku dapat mengerti dengan mudah. Hal sekecil itu sangat berarti bagi kita, dan mungkin orang lain pasti memiliki pendapat yang berbeda. Ia berkata bahwa ia saja masih harus berusaha keras karena ternyata ia mendapat nilai yang pas.

Entahlah, aku hampir lupa mengingat hal apa saja yang pernah aku kalahkan. Hingga suatu hari ketika aku mendaftar beasiswa bidik misi untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Aku pernah membayangkan, Bagaimana rasanya kami kuliah di perguruan yang tinggi yang berbeda? Apa aku bisa hidup tanpa merepotkannya?. Tak disangka, aku satu-satunya yang menjadi harapan karena kakakku gagal masuk dan mendapatkan beasiswa itu, Aku masuk dan diterima lewat jalur undangan dan beasiswa bidik misi sedangkan dia pun masuk melalui jalur prestasi di perguruan tinggi islam di surabaya. Akhirnya, aku bisa berdiri sendiri dengan kemampuanku. Aku menantang diriku hingga akhir bahwa aku pasti bisa hidup mandiri untuk mengatasi masalahku tanpa harus merepoti bayanganku terus.        

0 komentar:

Posting Komentar